Minggu, 12 Desember 2010

PERUBAHAN MAKNA KATA


Perubahan Makna Kata
Abah
“Tampak senyum pahit menyelimuti kemurungan wajahnya.”
Senyum pahit? Memangnya senyuman itu dijilat? Koq tahu rasanya pahit? Kenapa bisa?

Bahasa tumbuh dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan peradaban manusia. Semakin beradab, manusia semakin memerlukan bahasa. Dalam pergaulan sekecil apapun, manusia memerlukan bahasa sebagai sarana komunikasi.
Dalam setiap komunikasi sudah pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan dan harus dipahami oleh kedua belah pihak sehingga tercipta komunikasi yang komunikatif. Ketepatan pemilihan kata atau diksi dengan makna yang tepat sangat menunjang kekomunikatifan tersebut. Semakin tepat kata yang digunakan, semakin jelas komunikasi terjadi.
Dalam perkembangannya, makna sebuah kata tidaklah statis. Ia ikut berkembang dan berubah dari waktu ke waktu. Hal ini sudah tentu akan menyulitkan para pemakai bahasa yang tidak pernah ingin tahu perkembangannya. Pemakai bahasa harus mengetahui dan memahami perubahan dan perkembangan makna kata tersebut.
Kali ini penulis akan ngobrol dan diskusi mengenai perkembangan makna kata tersebut. Tetapi hanya fokus pada jenis-jenis perubahan makna kata yang penting dan paling banyak ditemukan dalam berbahasa sehari-hari.
1.      Kita sudah maklum, kata saudara mengandung makna “orang yang memiliki pertalian darah”. Ternyata kata saudara dalam perkembangannya mengalami perubahan cakupan. Kata saudara digunakan pula kepada siapa saja yang dianggap sederajat dengan kita. Dengan demikian, kata tersebut cakupannya lebih luas daripada semula. Perubahan makna semacam ini disebut meluas. Kata-kata  lain yang mengalami perubahan sejenis:
Kata bapak, semula hanya digunakan kepada orang tua, ayah tetapi sekarang digunakan kepada siapa saja yang dianggap lebih tinggi dari kita. Demikian juga dengan kata ibu.
Kata putra dan putri, semula hanya digunakan untuk anak-anak raja. Sekarang? Digunakan kepada anak laki-laki dan perempuan, siapa saja. Bahkan putra dan putri sekarang sudah menjadi nama seseorang.
Kata laksamana, semula hanya nama seseorang dalam dunia pewayangan, yaitu saudara Rama. Kini, laksamana digunakan sebagai pangkat tertinggi di angkatan laut.

Kita mengenal nama Honda? Merek mobil Honda dengan berbagai jenisnya. Merek motor Honda dengan berbagai jenisnya. Semula kata Honda itu apa? Ternyata, awalnya Honda merupakan perusahaan atau pabrikan yang memproduksi kendaraan. Kemudian nama itu digunakan untuk nama produknya sehingga terkenal seperti sekarang.

Coba dech, cari kata lain yang mengalami perubahan yang sama!
2.      Yang kedua ini kebalikan dari yang pertama. Sebuah kata yang semula memiliki cakupan makna yang luas, lama kelamaan semakin kecil, semakin sempit cakupannya. Perubahan semacam inilah yang disebut menyempit.

Tahu, kan kata sarjana? Tapi bagaimana sejarahnya? Semula, kata sarjana digunakan untuk menyebut orang-orang pandai, memiliki pengetahuan yang dalam. Sekarang? Ternyata sekarang sarjana hanya digunakan sebagai gelar akademis. Siapa saja yang menuntaskan pendidikan di perguruan tinggi, memiliki ilmu yang luas atau tidak, dia disebut sarjana.

Ulama, semula kata ini digunakan untuk menyebut semua orang yang memiliki ilmu dalam Islam. Sekarang kata tersebut hanya bermakna guru atau yang mengajarkan agama. Demikian juga kata pendeta dalam Kristen. Pendeta adalah orang yang berilmu, tetapi sekarang hanya digunakan sebagai sebutan guru agama Kristen.

Sekarang, coba jelaskan, mengapa kata-kata ustad, madrasah, bau, tabib, mengalami penyempitan makna?
3.      Coba bandingkan kata pramuniaga dengan pelayan toko! Mana yang lebih tinggi nilai rasa bahasanya. Jelas, pramuniaga lebih tinggi dan enak, kan? Semula orang menggunakan kata pelayan toko tapi sekarang pramuniaga. Sebagai kata baru, pramuniaga memiliki nilai rasa bahasa yang lebih tinggi daripada kata asal, yakni pelayan toko. Perubahan makna semacam ini disebut ameliorasi. Bisa, kan mengartikan ameliorasi? Pasti dong, bisa!

Kita cari kata-kata serupa:
Pria lebih baik daripada laki-laki; istri lebih baik daripada bini; wc lebih baik daripada belakang; wts lebih baik daripada pelacur; office boy lebih baik daripada tukang sapu; diamankan lebih baik daripada ditangkap.
Ayo, cari lagi yang lainnya! Yakin, Anda bisa!
4.      Peyorasi
Kebalikan dari ameliorasi adalah peyorasi. Kata-kata yang semula baik tetapi bila digunakan sekarang memiliki konotasi negatif.

Gerombolan, semula memiliki arti “kumpulan orang atau kelompok” tetapi sekarang memiliki konotasi sebagai “kelompok pengacau”. Oknum memiliki arti asal “anggota” tetapi sekarang kata tersebut mengandung makna “bagian anggota yang melakukan pelanggaran”. Preman semula digunakan sebagai istilah “militer yang sudah pensiun” tetapi sekarang mengandung makna “orang jahat”

Pantaskah bila saat ini kita mengatakan “Ibuku sedang bunting enam bulan.”? Rasa-rasanya kata bunting sudah tidak bernilai digunakan saat ini. Padahal semula kata itu konotasinya positif.
Yuk, cari lagi contoh-contoh lain!
5.      Sinestesia
Perubahan makna yang diakibatkan adanya pertukaran pengindraan. Ingat, kan? Sebuah kata yang seharusnya diindra oleh lidah dipertukarkan dengan mata, misalnya. Itu kan yang disebut sinestesia? Hmmmm…hhhmmmmm!!!!
Senyumnya pahit; kata-katanya pedas; kritikan yang tajam; anggin yang merdu; suara yang terang. Pokoknya, banyak dech kata yang mengalami perubahan sinestesia. Coba cari sendiri!
6.      Asosiasi
Makna sebuah kata berubah akibat adanya sifat yang sama dari dua hal yang berbeda.
Ia lulus seleksi CPNS gara-gara memberi amplop.
Kata amplop pada kalimat di atas maksudnya “uang sogokan”, kan? Mengapa digunakan kata amplop? Karena sifat amplop yang sama, yaitu menutupi rahasia. Jadi, amplop pada kalimat tadi berarti “uang sogokan yang disampaikan secara rahasia”.

Aku sudah tidak mau lagi berhubungan denganmu.  Dasar kau, keong racun!
Ya sama saja, aku keong racun dan kamu mawar berduri.

Cukup dulu akh! Mendingan cari contoh sendiri yang lebih asyik.

Supaya lebih jelas, yuk kita baca buku ini:
Aminuddin, 1999. Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.
J.S. Badudu. 1986. Sari Kesuastraan Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gorys Keraf. 1998. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar