Jumat, 10 Desember 2010

GAYA BAHASA


GAYA BAHASA BERDASARKAN STRUKTUR KALIMAT DAN MAKNA
“Abah”

“Hai…hai…lihat tu, orang yang duduk di sudut ruangan”.
“Mana?”
“Itu, tu. Yang pakai baju biru.”
“Oooo…itu! Emang kenapa sih?”
“Ihhhh…maching bener tu pakaiannya. Warna dan modelnya cocok banget.”
“ Iya..tapi kalau kamu yang pakai, belum tentu pas, tahu!”
“Lho…lho…emang kenapa?”
“Ya iyalah! Itu kan gaya berpakaian dia. Yang namanya gaya, gak bisa ditiru orang lain. Pasti khas.”
“Coba dech kamu perhatikan tu gadis yang berjalan kemari! Apa kamu bisa meniru gaya berjalannya?”
“Ya, enggaklah! Risi kayaknya kalau aku mencoba gaya gituan.”
“Hmmmmm…ya begitulah kalau kita berbicara gaya.”
Dari ilustrasi di atas kita bisa menyimpulkan bahwa gaya merupakan cara atau model khas yang dimiliki seseorang. Karena khas, gaya seseorang tidak bisa ditiru. Kalau pun memaksakan diri meniru gaya orang lain, gaya tersebut tidak akan pas dan tidak akan bertahan lama.
Gaya berpakaian, berarti cara atau model berpakaian khas seseorang yang sesuai dengan karakter dan jiwa pemakai pamakaian tersebut. Gaya berjalan, berarti cara atau model berjalan khas seseorang  yang sesuai denga kebiasaan dan jiwanya. Dengan demikian, coba dech kita cari tahu pengertian gaya bahasa, sesuai dengan judul tulisan ini.

Sekarang Abah langsung aja akan berbicara tentang gaya bahasa. Soal pengertiannya, PR dech buat pembaca. Oke?

Gaya bahasa bisa dilihat dari berbagai segi. Bisa dibicarakan dari segi resmi tidaknya bahasa yang digunakan; bisa dilihat dari segi media bahasa yang digunakan; bisa dilihat dari segi nada dan pemakai bahasa; dari segi struktur bahasa; dilihat juga dari segi keberlangsungan makna. Pada tulisan ini, Abah cuma akan membicarakan gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dan keberlangsungan makna. Karena gaya bahasa ini merupakan gaya bahasa yang sering ditemukan oleh kaum pelajar.
Berdasarkan struktur bahasa, ingat lho. Struktur bahasa, gaya bahasa dibedakan menjadi:
1.       Klimaks
Bila kita mengungkapkan pikiran atau perasaan dengan urutan yang semakin lama semakin luas cakupan dan isinya; mulai dari yang rendah menuju ke yang lebih luas. Berarti kita sedang bergaya klimaks.
Contoh: Dalam pidatonya, Presdiden RI berpesan agar negeri ini benar-benar bersih dari korupsi mulai pemerintahan tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi hingga ke pemerintahan pusat. Mari kita basmi dan hilangkan korupsi.
Contoh lain: Sebagai pemimpin, sebaiknya bila mendengar kritik jangan alergi. Alangkah bijak bila kritik itu didengar, dipahami, diolah bahkan ditindaklanjuti demi kemajuan bersama.
2.      2Antiklimaks
Sebaliknya, bila kita sudah terbiasa mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan urutan semakin lama semakin menurun atau kecil cakupannya, itu berarti kita memiliki gaya antiklimaks. Yuk, kita perhatikan dan pahami contoh berikut!
a.       Semula masyarakat sekitarnya hanya mengira Gayus Tambunan itu seorang kaya raya, PNS kelas bawah, pendiam, dan namanya tidak terkenal. Eee…tahunya dia seorang koruptor kelas kakap.
b.      Aku hanya merasakan kehancuran, kengerian, kegelapan, kepedihan, dan kesusahan dalam menjalani penderitaan ini.
3.       3. Paralelisme
Kita sering juga berwacana dengan menggunakan kalimat majemuk. Hubungan kedua kalimat tersebut menyatakan hubungan kesejajaran (parallel) atau bersifat menguatkan. Kedua kalimat itu memiliki struktur yang sama. Kebiasaan kita semacam itu merupakan paralelisme. Ya, udah supaya lebih jelas. Perhatikan contoh berikut!
a.       Terorisme di negeri ini bukan hanya harus dilarang bahkan terorisme di negeri ini harus dilenyapkan agar masyarakat merasa aman dan nyaman.
b.      Di mata hukum, baik masyarakat kelas atas, mayarakat kelas menengah maupun masyarakat kelas bawah harus mendapat perlakuan yang sama. Jangan mendolimi salah satu golongan.
4.       4. Antitesis
Bila kita berwacana dan dalam wacana itu terkandung dua gagasan yang bertentangan maka kita sedang berantitesis ria. Yuk perhatikan contoh berikut!
a.       Masyarakat Yogyakarta sudah banyak kehilangan tetapi mereka pun bakal mengeruk keuntungan akibat letusan Gunung Merapi. Karena material Merapi menguntungkan bagi dunia bisnis.
b.      Sepak bola kini sudah menjadi tontonan masyarakat umum. Laki perempuan, tua muda, kaya miskin pasti menyukai sepak bola.
c.       Memang kelihatannya muka pacar gue itu garang tapi hatinya, bro. Aduh halus banget.
d.      Aku membuang bayanganmu tiap saat walaupun rinduku semakin kubuang semakin kuat.
5.       5. Repetisi
Para orator untuk menumbuhkan semangat kepada pendengarnya, seringkali mengulang kata, bagian kata, atau bagian kalimat dalam pidatonya. Gaya mereka itulah yang disebut repetisi. Perhatikan kutipan-kutipab berikut!
a.       Kewajiban kalian sekarang, sesuai dengan kedudukan kalian sebagai pelajar adalah belajar, belajar, dan terus belajar sehingga menjadi manusia yang berguna pada masa yang akan datang.(Epizeuksis)
b.      Kita adalah kita, bangsa Indonesia dan mereka adalah mereka memiliki bangsa sendiri. Kita dan mereka jangan beradu.(tautotes)
c.       Generasi muda penerus bangsa bukan sekedar isapan jempol. Generasi muda benar-benar harapan masa depan bangsa. Karena itu, kalian sebagai generasi muda harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan kedudukan kalian dewasa ini.(Anafora)
d.      Bumi yang terhampar adalah hidupku
Langit yang membiru adalah hidupku
Laut yang tak lelah adalah hidupku
Semua Kau limpahkan demi hidupku
Terima kasih Engkau pemberi hidupku
Frase hidupku pada bait puisi Abah tersebut diulang pada tiap akhir larik. Gaya ini disebut repetisi epistrofa.
e.       Sementara kau harap aku mati, malah aku hidup
Sementara kau harap aku rubuh, malah aku bangkit
Sementara kau harap aku tidur, malah aku terjaga
Sementara kau harap aku tak miliki apa-apa, malah aku berlimpah apa-apa.
Hahahaha, kau berdosa.
Bait puisi di atas menggunakan gaya repetisi simplok karena ada bagian awal dan akhir larik yang diulang pada larik berikutnya.
f.        Engkau lelaki bersihkan kejantananmu
perempuan bersihkan kemaluanmu
dan  gadis bersihkan perawanmu
Engkau penguasa bersihkan nuranimu
para hakim bersihkan hukummu.
Mari  semua bersihkan diri.
Kata bersihkan pada bait pusi di atas diulang di tengah larik. Gaya ini disebut repetisi mesodiplosis.
g.       Ada juga yang berpusi ria atau berorasi mengulang sebuah kata awal kalimatnya di akhir kalimat yang diucapkan atau ditulisnya. Gaya ini dinamakan repetisi epanalepsis.  Yuk perhatikan contoh berikut!
Engkau rembulan, datanglah padaku mala mini, wahai engkau rembulan!
Tuhanku, hanya pada-Mu aku mengharap perlindungan, Tuhanku!
Indonesia, bangkitlah engkau Indonesia!
h.      Lain lagi dengan dunia penyair. Sering mereka mengulang kata atau frase terakhir larik puisi pada awal larik berikutnya. Ini menandakn bahwa penyair tersebut lebih senang bergaya repetisi anadiplosis. Yuk pahami contoh berikut!
Saat tiada kamu aku merindu
Merindu sejuta untai bunga
Bunga yang pernah rendakan di napasku
Napasku ringan degupku tenang
Tenang jiwaku bersamamu.

Itulah gaya-gaya bahasa berdasarkan struktur bahasa. Kini giliran kita berbicara gaya bahasa berdasarkan berlangsung tidaknya makna. Gaya bahasa inilah yang paling sering ditemui para pelajar atau mahasiswa di sekolah atau di kampus. Yuk, kita mulai!

Secara garis besar, gaya bahasa ini terdiri atas gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Masing-masing terdiri atas berbagai macam gaya bahasa.
A.      Gaya Bahasa Retoris
1.       Aliterasi, adalah pengulangan konsonan yang sama dalam sebuah larik. Biasanya gaya ini digunakan dalam larik-larik puisi. Perhatikan contoh berikut!
a.       Tiada terasa takut temukan tempat tepat
b.      Dikau dinda detakmu ada di dada
c.       Aku karam dalam dendam
2.       Asonansi, kalau aliterasi yang diulang konsonan yang sama maka asonansi yang diulang adalah vokal yang sama dalam satu larik. Yuk, lihat contoh berikut!
a.       Akh, aku murka lihat ini muka penuh luka
b.      Muka yang kaku dan lidah yang kelu beku
c.       Kata tak punya makna nafsu terus memburu
3.       Kalian suka membalik struktur kalimat? Berarti kalian suka dengan gaya bahasa anastrof. Misalnya:
a.       Larilah aku aku meninggalkan bayangan hingga termanggulah engkau.
b.      Di dalam sepi aku bermimpi, merintihlah jiwaku.
c.       Ini negeri menjerit selalu, melihat hamparan maksiat.
4.       Apofasis, gaya bahasa dengan cara mengungkapkan sangkalan padahal sebenarnya menegaskan. Yuk perhatikan kalimat berikut!
a.       Andai aku tidak sayang sama kamu, aku pasti sudah mengatakan kepada orang lain bahwa kamu pelacur murahan.
b.      Sebaiknya kalian rahasiakan bahwa di kelas ini ada kasus yang memalukan warga kelas.
5.       Apostrof, gaya pengalihan pesan dari hadirin kepada sesuatu yang tidak ada di sana. Biasanya digunakan para orator. Perhatikan cuplikan berikut!
Wahai para penabur darah yang telah tenang di sana, berilah kami kekuatan untuk mengolah negeri ini. Mengisi dan meneruskan hasil perjuanganmu!
6.       Asindeton, merupakan penggunaan acuan yang padat dengan cara menyejajarkan frase atau klausa berutuan tanpa menggunakan kata penghubung. Pahami contoh berikut!
a.       Pengalaman hidup diolah, ilmu dianalisis, kegagalan diantisipasi, kesuksesan diraih.
b.      Hidup apa adanya, tak putus asa berjuang, mental kuat, teguh iman, kunci keberhasilan.
7.       Polisindeton, kalai asindeton frase atau klausa diurutkan tanpa kata penghubung, justru dalam polisendeton satu sama lain dihubungkan dengan kata penghubung. Perhatikan contoh berikut!
a.       Kemanakah manusia-manusia ramah dan manusia bernurani dan berakal pada saat dibutuhkan?
b.      Manusia berakal dan manusia tidak berakal akhirnya tidak ada bedanya kalau mereka tidak beriman dan merekapun akan merugi.
8.       Kiasmus, gaya yang menggunakan dua frase atau klausa yang sederajat tetapi susunannya berbeda. Perhatikan frase yang bercetak miring pada kalimat berikut!
a.       Segala hartaku sudah hilang, lenyap sudah impianku pada masa mendatang.
b.      Kelam sudah masa depanku saat datang terangku.
9.       Ada orang yang dengan khasnya bila berbicara secara sengaja memotong bagian kalimatnya. Bagian itu biasanya sudah dipahami maksudnya oleh pendengar. Kebiasaan seperti itu disebut gaya ellipsis. Pahami beberapa contoh yuk!
a.       Semua orang tahu kalau dia itu orang kaya tapi …kalian juga tahu kan?
b.      Jika kalian gagal melaksanakan tugas ini maka kalian …
c.       Kini perasaanku sedang benci-bencinya padanya tapi terselip juga rasa …
10.   Ada juga orang yang terbiasa dengan menggantikan acuan atau maksud dengan ungkapan yang dirasakan lebih halus dan tidak menyinggung orang lain. Gaya ini dinamakan eufimismeu. Mereka selalu berbicara seperti ini:
a.       Dia hidup sebatangkara karena keluarganya sudah tiada.
b.      Karena stres yang terus-menerus akhirnya pikiran sehatnya semakin merosot.
c.       Tersangka koruptor itu sudah diamankan di kejaksaan.
11.   Lain lagi dengan kebiasaan orang merendahkan diri. Mereka selalu menyatakan sesuatu maksud dengan keadaan kebalikan yang sebenarnya. Gaya ini disebut litotes. Kalimat-kalimat berlitotes berikut perhatikan!
a.       Apapun yang saya lakukan terhadap bangsa ini niscaya tidak ada arti apa-apa. (ungkapan seorang pahlawan)
b.      Sungguh kalian tidak gak perlu sungkan lho, kedudukanku saat ini gak berarti, koq. Gak ada bedanya dengan kalian. (ungkapan seorang pejabat)
c.       Apa yang harus kubanggakan dengan warisan milyaran tersebut? Tidaklah!
12.   Asyik juga tuh, kalau kita ngobrol dengan cara mengungkapkan sesuatu yang logis dengan kebalikannya; dibalik dari kondisi yang seharusnya. Inilah yang dimaksud gaya histeron porteron. Berikut beberapa contoh!
a.      Mereka yang berjubah dan mengatasnamakan Islam itu ternyata tidak lebih baik dari seekor tikus kecil.
b.      Tiang ini telah memberiku sebuah rumah untuk berteduh keluarga.
c.       Abang becak itu berlumur peluh berjalan di depan becak yang dikayuhnya.
13.   Pleonasme dan Tautologi, dengan gaya ini pembicara menggunakan kata yang berlebihan, kata-kata penjelas untuk sesuatu yang sudah jelas dan dipahami pendengar/pembaca. Berikut beberapa contoh:
a.       Keringat yang basah itu telah membasuh sekujur tubuhnya sejak pagi.
b.      Setelah dipersilakan, penyanyi itupun tampil ke depan panggung.
c.       Prinsip hidupku, dalam melakukan sesuatu aku tidak akan pernah mundur ke belakang sebelum berhasil.
14.   Koreksio/Eponortosis, kebiasaan orang menegaskan sesuatu dengan cara mengoreksi atau memperbaiki ungkapan yang diungkapkan terdahulu. Agak susah ya, memahaminya? Baik, perhatikan contoh berikut!
a.       Sebetulnya saya sudah sering datang kemari, maaf, ya sekitar lima kalilah.
b.      Mereka tidak pernah bersebrangan pendapat, di antara mereka selalu seia sekata.
c.       Apakah selamanya kita mau jadi binatang? Maksudnya saya kita selamanya diperlakukan di luar manusiawi oleh atasan kita? Tidak kan?
15.   Hiperbola, orang-orang yang suka berhiperbola ini kalau bicara untuk memberikan sugesti yang kuat, mereka selalu menggunakan kata atau ungkapan yang berlebihan; sesuatu yang kecil dibesar-besarkan. Pahami contoh berikut!
a.       Karena kepedihan hidupnya, rintihannya menggema di seisi kampung.
b.      Sedikit saja kesalahan kau lakukan, niscaya matilah engkau. Ngerti?
c.       Air mata penderitaan sudah melaut di Mentawai dan sekitar Merapi akibat bencana di daerah tersebut. Yuk, kita bersimpati kepada mereka dengan menyumbangkan segala kemampuan yang kita miliki.
16.   Sering juga orang berbicara dengan cara mempertentangkan fakta dengan ungkapan supaya pendengar lebih tertarik. Ini agak sulit juga ya? Supaya lebih gampang, perhatikan aja contoh berikut!
a.       Bertahun-tahun dia hidup sepi dan menderita di tengah kota dan hartanya yang melimpah. Ini akibat sesuatu yang hilang darinya.
b.      Musuh yang paling berbahaya itu justru datang dari kawan yang paling akrab. Dan itu sering terjadi.
c.       Tanpa didasari keimanan, kepintaran seseorang malah akan membodohi dirinya sendiri.
17.   Oksimoron, gaya ini memberikan efek yang bertentangan padahal untuk menegaskan. Caranya menggunakan kata yang bertentangan maknanya dalam sebuah frase atau klausa. Yuk, Abah sajikan beberapa contoh!
a.       Tidak menutup kemungkinan seseorang harus bersikap keji demi kedamaian.
b.      Setiap pengunjung disambutnya mesra dengan senyum hambar pribumi.
c.       Dalam kekeluan lidah, sebenarnya aku berteriak keras menuntut hak.

B.      Gaya Bahasa Kiasan
1.       Simile, gaya bahasa dengan cara menyatakan maksud dengan membandingkan langsung dengan hal lain yang memiliki kesamaan sifat dengan menghadirkan kata-kata pembanding. Perhatikan contoh berikut!
a.      Tu, lihat cewek. Bodinya..bodinya! Pinggangnya laksana gitar meksiko.
b.      Tatapan matanya tajam tapi indah bagaikan mata elang.
c.       Oh, bisikanmu begitu halus seperti sutera mengusap wajahku.
2.       Metafora, bila simile membandingkannya masih menggunakan kata penghubung, metafora sudah tidak lagi mebutuhkan kata penghubung. Perhatikan contoh berikut!
a.       Ooo, si mata kucing udah datang. Yuk, kita sambut!
b.      Akh, dasar bunglon. Aku harus hati-hati di hadapannya.
c.       Gaul boleh tapi jangan sampai kita jadi sampah masyarakat.
3.       Personifikasi, gaya bahasa dengan cara memanusiakan benda-benda atau sesuatu yang tidak bernyawa. Benda-benda tersebut seolah-olah memiliki sifat manusia. Yuk, perhatikan contoh berikut!
a.       Cahaya rembulan itu meluncur dari langit hinggap di daun kelapa. Loncat ke pohon jeruk depan kamar hingga akhirnya masuk dan memeluk diriku.
b.      Angin malam membelai sekujur tubuhku membuat aku menggigil.
c.       Noktah hitam itu telah menjilat hidupnya sehingga sulit untuk mengembalikannya.
4.       Alusio adalah ungkapan lain sebagai penegas dari sesuatu yang dimaksud. Misalnya”
a.       Sejak dulu negeri Belanda dikenal sebagai negeri kincir angin.
b.      Srikandi Indonesia akhirnya berhasil meraih 3 medali emas olimpiade.
c.       Keluarganya masih tinggal di kota pelajar, Yogyakarta.
5.       Ada lagi orang yang biasa mencatut nama-nama tokoh terkenal yang memiliki keistimewaan untuk mengungkapkan sifat seseorang. Gaya ini disebut eponim.
a.       Nama Satria Baja Hitam digunakan untuk menyatakan kekuatan.
b.      Nama Amor digunakan untuk menyatakan cinta.
c.       Nama Gayus digunakan untuk maksud koruptor mafia pajak.
6.       Epitet merupakan gaya bahasa dengan cara menggantikan suatu benda dengan deskripsi. Misalnya:
a.       Raja siang digunakan untuk menggantikan matahari.
b.      Lonceng pagi sudah berkokok (maksudnya ayam jantan).
c.       Memang dia raja jalanan sejak beberapa tahun terakhir (maksudnya pembalap).
7.       Sinekdoke pars pro toto, gaya bahasa dengan cara menggunakan sebagian kecil dari sesuatu padahal yang dimaksud keseluruhan, seutuhnya. Misalnya:
a.       Di rumahku ada tiga mulut yang harus dikasih makan. (manusia)
b.      Mereka bekerja keras demi mendapatkan sesuap nasi. (makan)
c.       Di kebun belakang terdapat lima ekor ayam jantan. (ayam utuh)
8.       Sinekdoke totem pro parte, kebalikan dari pars pro toto. Diungkapkan bagian terbesar atau menyeluruh padahal sebenarnya hanya sebagian kecil. Misalnya:
a.       Akhirnya Indonesia mampu menundukkan Thailand 2:1. (Timnas)
b.      SMAN 2 berhasil menjuarai basket tingkat kota.(Tim Basket)
c.       Indonesia sedang diguncang bencana terus-menerus. (sebagian wilayah)
9.       Metonimia, gaya menyatakan sesuatu dengan menggunakan menyebutkan nama barang atau produk, dsb. Misalnya:
a.       Ia ke Singapura naik Garuda.(pesawat terbang milik garuda)
b.      Saya lebih suka membaca Rendra daripada Sutardji. (buku karangan Rendra)
c.       Kini dia sudah mampu membeli Grand Livina. (mobil merek grand livina)
10.   Antonomia, menggantikan nama diri, gelar resmi atau jabatan dengan sebuah istilah/sebutan yang lain. Misalnya:
a.       Presidenlah yang meresmikan jalan tol ini. (maksudnya SBY)
b.      Acara ini akan dimulai bila pembesar negeri ini sudah pada datang.(pejabat)
c.       Di TV tersebut ada program untuk orang pinggiran. (masyarakat kecil)
11.   Hipalase , gaya menggunakan kebalikan dari suatu hubungan alami dua unsur yang berbeda. Wah repot ya? Mending perhatikan contoh, lebih mudah!
a.       Aku sudah tidak kuat lagi tinggal di rumah yang gerah ini. (yang gerah aku, bukan rumah)
b.      Mereka tidur dalam pelukan selimut yang pulas. (yang pulas orangnya, bukan selimutnya)
12.   Ironi, adalah sindiran, mengungkapkan sesuatu yang makna sebenarnya berlainan dengan ungkapan itu. Perhatikan kalimat berikut!
a.       Engkau wanita termulia sehingga engkau pantas mendapat penghormatan tertinggi.(makna sebenarnya wanita biasan saja atau mungkin hina)
b.      Ooo, jadi Tuan orangnya yang membuat kami harus menyingkir dari sini. Terima kasih yang mulia!(ledekan)
13.   Sinisme, merupakan ironi yang lebih tajam, lebih jelas maksudnya. Misalnya:
a.       Engkau wanita hina yang harus dienyahkan dari bumi ini.
b.      Ooo, jadi kamu orang yang harus aku singkirkan sekarang juga?
14.   Sarkasme, sindiran paling tajam dan blak-blakan. Misalnya:
a.       Aku bener-bener muak melihat perilakumu, wanita murahan.
b.      Udah jangan banyak omong. Mulutmu bau, tahu?
15.   Ineundo, sindiran dengan cara mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.
a.       Dia sedikit mabuk. Maklum tadi dia minum beberapa botol bir.
b.      Usaha kecil-kecilannya itu yang membuat dia jadi kaya raya seperti sekarang.
c.       Ya, memang dia sedikit tidak jujur dalam keuangan.
16.   Paranomasia , menggunakan dua kata yang sama padahal maknanya sangat berbeda.
a.       Pada tanggal dua, gigi saya tanggal dua.
b.      Saat suasana genting, eee malah kepalaku tertimpa genting lagi.

Alhamdulillah, tuntas sudah obrolan tentang gaya bahasa. Berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah ciri khas berbahasa seseorang yang mengungkapkan kepribadian pemakaian bahasa tersebut.
Referensi
Aminuddin. 1988. Semantik Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.
Gorys Keraf. 1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar