Jumat, 31 Desember 2010

ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA


KESALAHAN FONETIS
Abah
Kita sudah sering melihat atau mendengar berbagai kesalahan berbahasa yang dilakukan pemakai bahasa, baik secara lisan maupun secara tulis; baik oleh kaum awam, terpelajar maupun kalangan selebriti dan pejabat. Di antara berbagai kesalahan tersebut adalah kesalahan penulisan dan pelafalan fonem – kesalahan fonetis. Kesalahan ini terus saja terjadi padahal kesalahan tersebut sangat memungkinkan terjadinya salah penafsiran terhadap maksud ujaran. Dengan demikian, kesalahan fonetis mengakibatkan kesalahan makna.
Kita sudah maklum bahwa sistem fonem bahasa Indonesia diucapkan sesuai dengan huruf. Misalnya, fonem /u/ dilambangkan dengan huru “u”, dan diucapkan sebagai /u/ seperti pada kata buku, kutu, bambu, dan sebagainya. Tetapi dalam kenyataan, sering terdapat kesalahan pengucapan fonem-fonem tersebut. Terutama pada pengucapan dan penulisan fonem /e/, /p/, /k/, /kh/, /f/, /s/, /sy/. Sekecil apa pun kesalahan tersebut, tergolong pada  kesalahan berbahasa Indonesia meskipun tidak sampai mengubah makna.
Apakah kita mau selamanya bergelut dengan kesalahan? Tentu tidak, bukan?
Nah, sebelum kesalahan-kesalahan tersebut semakin melebar, kali ini mari kita ngobrol berbagai kesalahan fonetik bahasa Indonesia! Kesalahan ini terjadi pada pengucapan atau penulisan fonem-fonem. Misalnya, sebuah kata seharusnya ditulis atau diucapkan dengan diakhiri bunyi /h/, ternyata tidak atau sebaliknya. Kesalahan semacam ini diakibatkan karena kita terpengaruh oleh bahasa lain, khususnya bahasa ibu. Mungkin juga akibat kita ingin gaya, ingin bahasa kita disebut bahasa gaul.
Gejala-gejala kesalahan fonetik yang Abah maksud, dapat dirangkum menjadi:
1)      Protesis. Kesalahan ini akibat kita menambahkan sebuah fonem atau lebih pada awal kata. Ini biasanya Karen kebiasaan kita berbahasa daerah, terutama fonem/h/.
Contoh:
a.       /alangan/ menjadi /halangan/
b.      /utang/ menjadi /hutang/
c.       /ampas/ menjadi /hampas/
d.      /aku/ menjadi /daku/
e.       /ubah/  menjadi /rubah/
f.       /utak-atik/ menjadi /ngutak-ngatik/
g.      /unit/  menjadi /yunit/
h.      /ampelas/ menjadi /hampelas/
2)      Epentesis. Kadang-kadang karena kebiasaan juga, kita menambahkan fonem pada tengah kata. Lidah kita rasanya sulit mengucapkan kata tersebut jika tidak ditambah fonem baru di tengah. Sering, bukan kita merasakan gejala begitu? Tapi kadang juga karena kita ingin gaya dan merasa lebih baik sehingga yang sudah benar diperbaiki, eee…malah jadi salah/hiperkorek.
Contoh:
a.       /gua/ menjadi /guha/
b.      /buaya/ menjadi /buhaya/
c.       /tiang/ menjadi /tihang/
d.      /silakan/ menjadi /silahkan/
e.       /rido/ menjadi /ridlo/
f.       /wudu/ menjadi /wudlu/
g.      /amplop/ menjadi /ampelop/
h.      /aku/ menjadi /akyu/
3)      Paragog. Nah, kalau ini merupakan kebiasaan kita menambahkan fonem pada akhir kata. Alasannya, ya sama saja dengan epentesis,  atau mungkin karena ingin bahasa yang kita gunakan menjadi bahasa gaul.
Contoh:
a.       /rapi/ menjadi /rapih/
b.      /musna/ menjadi /musnah/
c.       /mampu/ menjadi /mampuh/
d.      /tidak/ menjadi /tidaks/
e.       /praktik/ menjadi /praktiks/
f.       /saya/ menjadi /sayah/
g.      /elu/ menjadi /eluh/
h.      /komplek (kumpulan)/ menjadi /kompleks/
4)      Aferesis. Ternyata kebiasaan kita membuat kesalahan bukan hanya menambah fonem melainkan kadang kita membuang salah satu atau dua fonem pada awal kata. Kesalahan inilah yang dimaksud aferesis.
 Contoh:
a.       /hujan/ menjadi /ujan/
b.      /hitam/ menjadi /item/
c.       /hidup/ menjadi /idup/
d.      /hijau/ menjadi /ijo/
e.       /hunian/ menjadi /unian/
f.       /bagaimana/ menjadi /gimana/
g.      /tidak/ menjadi /dak/
h.      /betul/ menjadi /tul/
5)      Sinkop. Kalau aferesis kita buang sebuah fonem pada awal, ada juga fonem di tengah kata yang kita buang. Gejala inilah yang kita namakan sinkop. Rasanya gaul banget tu bahasa kita. Kita tidak sadar bahwa kita sudah memperkosa bahasa sendiri.
 Contoh:
a.       /bahu-membahu/ menjaadi /bahu-embahu/
b.      /matahari/ menjadi /matari/
c.       /pendidikan/ menjadi /pendidi’an/
d.      /dahulu/ menjadi /dulu/
e.       /kesalahan/ menjadi /kesala’an/
f.       /takjil/ menjadi /tajil/
g.      /marabahaya/ menjadi /marabaya/
h.      /musyawarah/ menjadi /musawarah/
6)      Apokop. Kita sering juga menghilangkan fonem pada akhir kata. Terasa banget tuh daerahnya. Kental dengan logat daerah, terutama Sunda atau Jawa. Tapi kadang karena ktidaktahuan, kata-kata asing juga kita perkosa.
Contoh:
a.       /contoh/ menjadi /conto/
b.      /bodoh/ menjadi /bodo/
c.       /jodoh/ menjadi /jodo/
d.      /kompleks (rumit/) menjadi /komplek/
e.       /seks/ menjadi /sek/
f.       /elite/ menjadi /elit/
g.      /faksimile/ menjadi /faksimil/
h.      /darah/ menjadi /dara/
7)      Asimilasi. Gejala ini lain lagi dengan gejala-gejala di atas. Dengan asimilasi, kita sengaja menjadikan dua fonem yang berbeda dalam satu kata, kita ganti dengan satu fonem yang sama dengan salah satunya.
 Contoh:
a.       /alsalam/ menjadi /asalam/
b.      /benar/ menjadi /bener/
c.       /cepat/ menjdi /cepet/
d.      /segan/ menjadi /segen/
e.       /dekat/ menjadi /deket/
f.       /pesantrian/ menjadi /pesantren/
g.      /keratuan/ menjadi /keraton/
h.      /tegap/ menjadi /tegep/
8)      Disimilasi. Nah, ini kebalikan dari asimilasi. Kita sering, apakah itu karena pengaruh kebiasaan, karena ketidaktahuan, atau karena ingin gaya-gayaan, ingin gaul, menjadikan dua fonem yang sama dalam satu kata, kita jadikan fonem yang berbeda salah satunya.
Contoh:
a.       /harap/ menjadi /harep/
b.      /pantas/ menjadi /pantes/
c.       /malam/ menjadi /malem/
d.      /massa/ menjadi /masya/
e.       /mutakhir/ menjadi /mutahir/mutakir/
f.       /bacam/ menjadi /bacem/
g.      /bayam/ menjadi /bayem/
h.      /asyik/ menjadi /asik/
Kesalahan-kesalahan tersebut diakibatkan adanya kesalahan adaptasi, analogi, dan hiperkorek. Adaptasi, maksudnya kita menyesuaikan pengucapan atau penulisan kata bahasa Indonesia dengan bahasa ibu atau bahasa daerah. Tetapi dalam perkembangannya sekarang, kita pun sering mengadaptasikan  kata bukan hanya ke dalam bahasa daerah melainkan juga ke dalam bahasa asing (Inggris) atau sebaliknya. Kita ambil contoh bahasa ABG, mereka menulis kata sebal menjadi /sebel/. Saking ingin gaya, sebel mereka adaptasikan dengan bahasa Inggris menjadi /seble/. Gaul, katanya. Lucu, bukan? Demikian juga kata /happy/ dalam bahasa Inggris, mereka adaptaskani ke dalam bahasa Indonesia menjadi /hepi atau hapy/. Dalam bahasa Indonesia itu sendiri, kesalahan adaptasi umumnya mengakibatkan asimilasi dan disimilasi.
Analogi merupakan kesalahan akibat pemakai bahasa mengacu atau mencontoh pada bentukan kata yang sudah ada tanpa mengetahui asal-usul atau etimologi kata itu sendiri. Kata yang memiliki struktur sama dianggap pengucapan atau penulisannya sama. Dalam bahasa Indonesia ada kata maksud, takdir, takwa, saksi, sukses, dan sebagainya. Bunyi /k/ pada kata-kata tersebut diucapkan jelas. Beranalogi atau mengacu pada kata-kata tersebut maka kita mengucapkan kata-kata maklum, rakyat, makmur, dengan bunyi /k/ jelas. Padahal kata-kata tersebut berbeda dengan maksud, takdir, dan sebagainya.
Perhatikan kata-kata berikut dengan pengucapannya!
/takdir/ diucapkan /takdir/
/sukses/ diucapkan /sukses/
/saksi/ ducapkan /saksi/
tapi lain dengan kata-kata berikut:
/rakyat/ diucapkan /ra’yat/
/laknat/ diucapkan /la’nat/
/tidak/ diucapkan /tida’/                 
Hiperkorek. Kita sering pula memperbaiki kata yang sebenarnya sudah betul karena rasanya kurang sreg. Akibatnya bentukan kata tersebut menjadi salah. Perhatikan contoh-conth berikut!
a.       saraf (benar) menjadi syaraf (salah)
b.      hewan (benar) menjadi khewan (salah)
c.       asas (benar) menjadi azas (salah)
d.      ijazah (benar) menjadi ijasah (salah)
e.       paham (benar) menjadi faham (salah)
f.       surge (benar) menjadi syurga (salah)
Apa yang harus kita lakukan dengan kesalahan-kesalahan berbahasa tersebut? Memang jelas, kesalahan-kesalahan tersebut tidak menimbulkan perubahan makna dan masih dapat dimengerti oleh orang yang diajak bicara atau membaca. Tapi ingat, yang namanya kesalahan sekecil apapun harus kita hindari. Karena berawal dari kesalahan-kesalahan kecil itulah, akhirnya kita tidak menyadari bahwa diri kita sudah masuk pada kesalahan yang lebih besar. Bila hal itu terjadi, bagaimana nasib bahasa Indonesia? Padahal secara tersurat, masalah bahasa Indonesia ada dalam UUD 1945. Hal ini dilakukan oleh para pendiri negara karena mereka menganggap bahwa bahasa Indonesia sangat penting dalam mewujudkan tujuan negara seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945 itu sendiri.
Jadi? Ya, mau atau tidak memperbaiki kesalahan berbahasa sangat bergantung pada jiwa kita sendiri. Kalau kita merasa diri sebagai WNI dan berjiwa Indonesia, maka kita?
KEPUSTAKAAN
Samsuri.1983. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Supriyadi. 1986. Analisis Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Karunika.

1 komentar:

  1. maksih ya atas infonya...
    sangat bermanfaat ni...
    mampir sklian Follow ya...?
    Jgn lpa Follow backnya ya...?
    mudah-mudahan kita bsa saling tkar info ya..?

    BalasHapus