Kamis, 23 Desember 2010

INKAR JANJI DAN BENCANA


Abah

Kita tahu, sampai hari ini Israel dan Palestina masih terus berseteru. Seolah-olah perseteruan itu tidak akan berakhir. Perseteruan itu berawal dari bangsa Israel (Yahudi) terjajah dan terusir dari tanah airnya. Saat itu bangsa Yahudi lari dan berpencar ke mana-mana dan sejak itu pula mereka tidak lagi memiliki tanah air. Akhirnya, bangsa yang berpencar itu mengklaim bahwa tanah yang diduduki Palestina sebagai tanah air mereka sehingga terus mereka ingin merebutnya dari tangan Palestina.

Muncul pertanyaan, mengapa Israel menjadi bangsa yang terusir dari tanah air mereka? 

Untuk menjawabnya, penulis kutip makna Alquran, surat Almaidah, ayat 13 (Karena mereka mengingkari janji selamanya maka Kami laknat mereka dan menjadi orang-orang  yang tertutup hatinya (keras).)

Berdasarkan ayat tersebut, kita berkesimpulan bahwa orang-orang Yahudi terusir dari tanah airnya itu karena mereka dilaknat oleh Alloh. Laknat tersebut berupa penjajahan dan pengusiran mereka oleh lawannya. Penjajahan tersebut sebagai akibat mereka telah mengingkari janjinya.

Kita kembali ke judul tulisan ini.

KBBI mendefinisikan janji sebagai  1) perkataan yang menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat sesuatu;  2) persetujuan antara dua pihak untuk saling bersedia melakukan sesuatu;  3) syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi;  4) tangguh; penundaan waktu;  5) batas waktu hidup; ajal.

Dalam Islam, janji diartikan sebagai pertalian atau ikatan batin antara dua pihak yang  bersifat suci untuk saling melakukan sesuatu yang positif dan tidak boleh diinkari. Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari kita mengartikan janji sebagai persetujuan kita kepada pihak lain untuk melakukan atau menyanggupi sesuatu.

Sebagai muslim, kita memiliki tiga macam janji yakni janji kepada Alloh swt., janji kepada diri sendiri, dan janji kepada sesama makhluk.

Mengawali kemusliman, kita wajib mengucapkan dua kalimah syahadat. Syahadat kepada Alloh swt., dan syahadat kepada nabi. Kedua kalimah syahadat itu merupakan ungkapan cinta pertama kita kepada Alloh dan rasul kita.Merupakan janji kita kepada Alloh dan rasul. Syahadat kepada Alloh merupakan pengakuan kita sebagai muslim bahwa tidak ada Tuhan selain Alloh. Syahadat kepada nabi merupakan pengakuan kita bahwa Nabi Muhammad merupakan nabi kita dan terakhir. Artinya, setelah kita mengungkapkan rasa cinta tersebut, sejak itulah kita selalu bercinta dengan Alloh dan rasul kita.

Kedua pengakuan kita tersebut merupakan janji kita kepada kekasih tercinta kita, yakni Alloh. Janji bahwa kita akan selalu taat kepada-Nya serta selalu melaksanakan segala perintah dan menjauhi segala laranga Alloh swt. Janji ini wajib kita penuhi.

Dalam keseharian hidup, kita melakukan segala sesuatu dengan kekasih didasari dengan ketulusan, kesucian agar keduanya mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan kebahagian. Apa pun yang dilakukan sepasang kekasih, pasti penuh kemesraan. Tapi adakalanya kekasih kita marah bahkan murka hanya karena salah satunya menginkari janji. Bahkan tidak menutup kemungkinan, kekasih kita tidak memaafkan kesalahan akhirnya percintaan kita berakhir dengan penuh kepedihan; dengan penuh penderitaan. Kita sudah berusaha melakukan berbagai rayuan agar kekasih kita mau memaafkan atau mau kembali menjadi kekasih kita. Rayuan kita, kadang berhasil kadang tidak.Terasa oleh kita, bagaimana sepinya; bagaimana sedihnya; bagaimana rindunya; saat kekasih berjauhan. Apalagi saat hubungan kita berakhir.

Nah, pembaca! Alloh adalah kekasih kita. Kita sudah berjanji kepada kekasih kita untuk setia. Karena itu, sudah seharusnya perasaan dan perbuatan yang kita lakukan kepada kekasih kita,  dilakukan  juga kepada Alloh swt. Alloh adalah kholik; zat yang menciptakan kita; zat yang member cinta . Cintailah Alloh tanpa inkar janji agar kekasih kita tidak marah; tidak murka; sealu berbuat baik kepada kita.

Hidup kita dinamis dalam segala hal. Kadang kita berada dalam kebahagiaan, kadang berada dalam penderitaan; kadang kita berada dalam selamat, kadang kita berada dalam celaka. Manusia sudah biasa, jika sedang berada dalam penderitaan dan celaka secara sadar kita berucap dalam hati, sendainya saya terlepas dari penderitaan dan celaka ini, saya akan melakukan  sesuatu. Ucapan kita itu disebut nazar. Nazar ini merupakan salah satu janji manusia kepada diri sendiri. Nazar tersebut wajib kita lakukan setelah kita terlepas dari penderitaan dan celaka; setelah kita mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan dari Alloh swt.

Tapi anehnya, yang penulis rasakan. Setelah penulis terlepas dari penderitaan dan kecelakaan, penulis sama sekali lupa kepada nazar tersebut bahkan sengaja dilupakan tanpa rasa berdosa. Eee…cueks bebek saja, watados (wajah tanpa dosa), tidak ada beban sama sekali. Setelah penulis mendapatkan kembali musibah, barulah sadar dan menyesal terhadap penginkaran janji penulis terhadap diri. Akh…dasar manusia!

Nah, pemabaca! Jika manusia seperti penulis, itu artinya tidak sayang terhadap diri sendiri. Inkar janji pada diri sendiri berarti membohongi diri sendiri. Jika diri kita bisa dibohongi oleh diri sendiri, apalagi oleh orang lain. Kita akan lebih mudah dibohongi. Akibatnya, kita akan menjadi bahan permainan orang lain; akan mudah dikendalikan orang lain; akan mudah dikuasai orang lain; akhirnya secara sadar atau tidak, kita sudah dijajah oleh orang lain. Nauzubillahi mindalik!

Janji kepada sesama makhluk? Wah…wah…! Dalam keseharian, penulis paling sering janji kepada orang lain dan paling mudah melupakan janji tersebut. Penulis tidak sadar bahwa inkar janji kepada orang lain, sama artinya dengan mengkhianati diri sendiri.

Dalam keseharian, untuk mendapat perhatian; untuk mendapat simpati orang lain, kita sering berjanji kepada mereka. Tapi anehnya, setelah mereka bersimpati kepada kita, kita lupa terhadap janji. Akhirnya mereka yang merasa dibohongi berbalik membenci dan antipati kepada kita. Bila hal itu terjadi, jangan harap dapat dengan mudah mereka bisa kembali percaya kepada kita; bisa simpati kembali kepada kita. Oleh karena itu, kita jangan mudah mengeluarkan janji-janji. Jangan sampai kita mengeluarkan janji gombal. Akhirnya kita menjadi gombalis. Aduh, jangan sampai dech! Amit-amit!

Yang membuat penulis prihatin dewasa ini, yakni dengan penggunaan kalimah “Insya Alloh” yang begitu mudah dan ringan diucapkan manusia. Kalimah ini biasanya dijadikan awal atau akhir dari sebuah perjanjian. Kita tahu kalimah tersebut mengandung makna “Jika Alloh mengizinkan”.

“Maukah kamu bertandang ke rumahku nanti sore?
“Insya Alloh saya datang.”
“Insya Alloh saya bayar besok sore, tolong pinjami saya uang sekarang!”

Bila kita terjemahkan pengertian “Insya Alloh” dalam dialog di atas kira-kira:
“Bila Alloh mengizinkan, saya datang.”
“Bila Alloh mengizinkan, saya bayar besok sore,…”

Kita tahu, Alloh akan selalu mengizinkan manusia berbuat apa pun sesuka hati kita. Apalagi melakukan kebaikan, Alloh sudah pasti mengizinkan. Karena itu, bila dalam janji kita diembel-embeli kalimah “Insya Alloh”, sesungguhnya lebih berat lagi karena pasti Alloh mengizinkan. Artinya, kalau janji kita diembel-embeli kalimah “Insya Alloh” lalu kita tidak memenuhi janji itu, apakah kita akan mengatakan “Ternyata Alloh tidak mengizinkan?”. Oooo…tidak…tidak…sekali lagi kita harus yakin, untuk berbuat kebaikan pasti Alloh mengizinkan. Jangan sekali-kali kita salahkan Allo swt.

Jika demikian keadaannya, penulis berpikir bahwa dewasa ini jika seseorang mengucapkan kalimah “Insya Alloh”, pasti dalam hatinya mengatakan Gak mau….gak tahu…gak selera…dsb.. Ooo..jelas pembaca tidak demikian bukan? Itu hanya ada dalam benak penulis. Ok, tidak apa-apa, yang penting kita tidak begitu gampang mengawali atau mengakhiri janji kita dengan kalimah “Insya Alloh” karena pertanggungjawabannya di depan Alloh swt semakin berat.

Dalam keseharian, penulis sering berkelakar dengan rekan yang mengucapkan kalimah “Insya Alloh”.

“Bah, besok tidak kemana-mana?”
“Tidak, emang kenapa?”
“Saya mau main k rumah Abah.”
“Boleh, mau pukul berapa Cuy?”
“Insya Alloh, pukul 16.00”.

Di situlah penulis bertanya dulu kepada sang sahabat, 

“Maaf Bro, itu ‘Insya Alloh’nya, ‘Insya Alloh’ kamu atau ‘Insya Alloh’ Islam?”

Dia menatap penulis sejenak lalu berucap,

“Lah si Abahmah, aing pokokna erek datang” ( Yang penting aku akan datang)

Ya, akhirnya penulis senyum saja melihat reaksi sang sahabat. Dalam hati”bilang, mau datang kek, mau gak ya terserah. Dan benar besoknya tidak datang.

Dari uraian di atas bisa kita simpulkan bahwa sebuah janji merupakan utang. Yang namanya utang harus selalu dibayar lunas karena hukumnya wajib. Artinya, jinji kita sifatnya wajib untuk dipenuhi. Kalau demikian, berdosa dong orang yang inkar janji. Hehehe…Ya, iyalah! Dosa…dosa…dosa…. Maukah kita selalu bergelimang dosa? 

Banyak firman Alloh yang menyatakan secara tersurat bahwa janji itu wajib dipenuhi, antara lain dalam surat Almaidah, ayat 1 yang artinya, (…segeralah laksanakan janji kalian). Juga dalam surat Alisro, ayat 34 yang artinya, (Dan segeralah laksanakan janji kalian karena sesungguhnya janji itu bakal Kami periksa.).

Inti kedua ayat tersebut menyatakan bahwa janji itu harus secepatnya dipenuhi karena janji akan Alloh periksa di akhirat dan harus dipertanggungjawabkan. Ini menandakan bahwa memenuhi janji hukumnya wajib.

Lalu apa kaitannya dengan ilustrasi kaum Yahudi di atas?

OOOO..pembaca! Ternyata inkar janji bisa menimbulkan bencana yang begitu besar dan global. Artinya, Alloh akan memberikan laknat berupa bencana kepada kaum yang inkar janji. Bencana tersebut tidak hanya diberikan kepada yag bersangkutan tetapi semua bangsa yang ada di sana akan terkena akibat bencana tersebut. Jadi bencananya tidak Alloh berikan kepada perorangan tetapi rata dan menyeluruh seperti  yang dialami oleh kaum Yahudi di atas.

Supaya pembaca lebih yakin, ok, penulis kutip hadis nabi yang diriwayatkan oleh Thabarani dari Ibnu Abbas, yang artinya, Ada lima perbuatan amoral manusia yang menyebabkan datangnya lima macam bencana. Kaum yang inkar janji menyebabkan bencana berupa penjajahan. Kaum yang tidak menggunakan hukum Alloh menyebabkan bencana berupa kemiskinan. Kaum yang  ikut serta dalam kejahatan dan kumunkaran menyebabkan bencana berupa kematian masal.Kaum yang melakukan manipulasi perdagangan menyebabkan bencana berupa kemiskinan dan hancurnya pertaanian. Kaum yang tidak mau mebayara zakat menyebabkan bencana berupa kemarau panjang.

Nah…nah…berdasarkan hadis tadi, inkar janji merupakan salah satu perbuatan amoral yang dapat menyebabkan bencana berupa penjajahan. Penjajahan tersebut bisa berupa penjajahan fisik seperti yang dialami kaum Yahudi di atas. Bisa juga penjajahan secara psikhis. Pada zaman modern ini justru penjajahan itu lebih banyak muncul secara psikhis. Negara-negara maju secara sadar menjajah negera yang tertinggal dengan kepintarannya. Dengan teknologi yang mereka ciptakan. Tetapi negara-negara tertinggal tidak menyadari bahwa dirinya sedang dijajah musuh. Pada zaman modern ini hampir tidak ada negara kuat menjajah secara fisik terhadap negara lemah. Mereka sudah mengubah paradigma  dan cara menjajah lawan-lawannya. Mereka sekarang melakukan penjajahan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kuasai.

Dalam keseharian, kadang kita tidak menyadari bahwa diri kita sedang dijajah. Dan kalau kita sadari secara cermat, benar, yang terjajah tersebut adalah orang-orang yang inkar janji. Tidak sedikit orang cerdik pandai lupa akan segalanya karena terjajah oleh ilmu yang dimilikinya bahkan sampai lupa kepada Alloh swt yang member ilmu; lupa terhadap keluarga; lupa terhada dirinya sendiri. Tidak sedikit teknokrat yang lupa terhadap segalanya karena teknologi yang dikuasainya telah menjajah dirinya. Akhirnya teknologi yang dikembangkannya digunakan untuk mencelakakan orang lain. Tidak sedikit pegawai yang lupa segalanya karena terjajah oleh pekerjaannya. Ulama yang terjajah oleh keulamaannya juga banyak sehingga mereka lupa kepada Alloh dan rasulnya sehingga mereka mengaku dirinya sebagai Tuhan, sebagai nabi, dsb. Banyak juga orang kaya yang lupa hidupnya karena terjajah oleh harta yang dimilikinya. Dan….banyak pula orang miskin yang lupa terhadap kewajibannya karena terjajah oleh kemiskinannya sampai-sampai mereka menyalahkan Tuhan. Mereka mengatakan Tuhan tidak adil, dan sebagainya. Dan banyak lagi contoh nyata yang lain.

Naaahh…! Pembaca, itulah bentuk penjajahan di zaman sekarang. Mari kita instrospeksi, apakah kita tergolong orang terjajah dengan kesibukan sehari-hari kita? Apakah kita tergolong orang yang inkar janji? Tentu jawabannya ada pada diri kita. Yang penting, penulis mengajak mari kita perbaiki hidup kita sedikit demi sedikit. Kita awali perbaikan dari janji kita. Kita awali belajar memenuhi janji kita. Orang yang menepati jajinya termasuk orang jujur. Dannnnn…! Kejujuran adalah kunci kesuksesan hidup kita di dunia dan di akhirat. Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang ikut menyebabkan terjadinya berbagai bencana yang terjadi di negeri tercinta ini. Nauzuillahi mindalik!

Yuk! Sampai di sini dulu obrolan kita. Lain waktu kita bertemu pada masalah yang berbeda. Sekali lagi, marilah kita perbaiki hidup kita dengan memenuhi janji! Mari kita perbaiki hidup kita dengan kejujuran. Niscaya kekasih kita akan selalu setia dan sayang kepada kita. Amin!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar